69
tahun yang lalu bangsa Indonesia merdeka, usia yang dianggap matang masih blum
tercermin dari keadaan, situasi, dan kondisi yang menggambarkan bahwa Indonesia
merdeka seutuhnya. Izinkan lah batin remaja ini dalam senyapnya menuliskan
betapa hati merindukan nilai Ideologis yang di amanatkan UUD 1945 berwujud konkrit
tanpa belajar untuk telanjang.
Bangsa
yang besar dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa dan 28,07 juta jiwa
masih hidup dalam kesemarukkan jeratan kemiskinan, kerap, tiap saat orang miskin yang menjadi objek kejahatan dan ketidak adilan. Lihatlah apa yang terjadi. Negara yang katanya “demokrasi”
hidup dalam otoriter trias politika sesungguhnya telah mengsejahterahkan rakyatnya tetapi semuanya itu hanyalah teori belaka,
Terlepas
dari inti paragraf-paragraf di atas saya ingin mencoba mengungkapkan kesan tentang masih
jauhnya realita dari keabstrahan nilai ideal yang di amanatkan konstitusi kita
yang fokusnya dalam penegakan hukum pidana di Indonesia
Kian masyarakat yang di
atur oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi menggunakan hukumnya
untuk mengendalikan segala aspek kehidupan rakyat Indonesia. “Civil Law” itulah
sistem hukum negara yang kaya ini, dengan azas-azasnya, konsepsi-kosepsinya dan
lembaga-lembaganya berusaha mengkongkritkan kalimatnya Roscoe Pound “law is a tool of
social enginering”.
Ada
azas yang menyatakan “Equality before the law”. Namun penggalan itu hanya lah
bagi mereka sang penegak hukum, KUHP dengan prinsip “ultimum remidium”nya
memaksakan kehendak penguasa tanpa memperdulikan “presumption of innoncent”. Masih
banyak penindas manusia tak bersalah tanpa di tindak karena tanpa bayangan namun sang penegak hukum berpura mata
tak melihat, masih banyak orang yang tertindas dari penindas manusia tak
bersalah tanpa perlindungan hukum yang pasti dari sang penegak hukum. Mengerikan
penegak yang tegang akan kepentingannya, menjalankan sistim hukum penjajah ini.
Orang yang tertindas dari penindas malah semakin tertindas dari keputusannya
sang penegak hukum.
Kejahatan
dan pelanggaran masih sering terjadi namun jika kita perhatikan jumlah aparat
kepolisan tiap tahun bertambah 1000-20.000 orang, jaksa dan hakim yang tiap
tahunnya d rekrut. Tapi kenapa masih ada pencurian, pembunuhan, penganiayaan,
pemerkosaan dan kejahtan lainnya masih saja terjadi. Jangan katakan bahwa
pekerjaan polisi, jaksa dan hakim mencari orang yang bersalah bukan menciptakan
ketertiban dan keadilan. Ketikadilan juga masih tidak berpihak bagi umum, orang
yang terbutiknya tak bersalah dapat di jebloskan dalam jeratan hukum karena
untuk memenuhi kepentingan sepihak.
Apalah
daya, kita hanya bisa melihat semua realita ini, kita hanya bisa menangis
ketika ketidak-adaanya pihak yang meperhatikan hal yang sebernarnya. Semua harpan
jauh dari kehidupan kita. Raga tak mampu lagi untuk menopang kerapuhan batin ketika
hukum mengintimidasi kita. Jelas kita hanyalah masyarakat yang di butakan oleh
mereka yang mengerti sistim. Dan kini saatnya kita membuka mata untuk belajar
dan mampu mengktitisisasi cara mereka, menginterupsi keputusan mereka dan mendoakan mereka sang penegak hukum.
Jika
semuanya ini telah terjadi maka perhatikanlah; manusia yang mengciptakan sistim
dan sistim diciptakan oleh manusia.. apa dan siapa yang salah?? Manusia? Ataukah
sistim? Jika manusia yang salah, tetapi dia mampu menciptakan sistim. Dan jika
sistim yang salah, tetapi manusia yang mengciptakan sistim.. Entahlahh,, begitu
abstraknya yang terpikir ku.. ku rasa aku harus menyudahi tulisan singkat ini.