Kamis, 13 Maret 2014

Ironi Negara CIvil Law



              69 tahun yang lalu bangsa Indonesia merdeka, usia yang dianggap matang masih blum tercermin dari keadaan, situasi, dan kondisi yang menggambarkan bahwa Indonesia merdeka seutuhnya. Izinkan lah batin remaja ini dalam senyapnya menuliskan betapa hati merindukan nilai Ideologis yang di amanatkan UUD 1945 berwujud konkrit tanpa belajar untuk telanjang.
                Bangsa yang besar dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa dan 28,07 juta jiwa masih hidup dalam kesemarukkan jeratan kemiskinan, kerap, tiap saat orang miskin yang menjadi objek kejahatan dan ketidak adilan. Lihatlah apa yang terjadi. Negara yang katanya “demokrasi” hidup dalam otoriter trias politika sesungguhnya telah mengsejahterahkan rakyatnya tetapi semuanya itu hanyalah teori belaka,  
                Terlepas dari  inti paragraf-paragraf  di  atas saya  ingin mencoba mengungkapkan kesan tentang masih jauhnya realita dari keabstrahan nilai ideal yang di amanatkan konstitusi kita yang fokusnya dalam penegakan hukum pidana di Indonesia
          Kian  masyarakat yang di atur oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi menggunakan hukumnya untuk mengendalikan segala aspek kehidupan rakyat Indonesia. “Civil Law” itulah sistem hukum negara yang kaya ini, dengan azas-azasnya, konsepsi-kosepsinya dan lembaga-lembaganya berusaha mengkongkritkan  kalimatnya Roscoe Pound “law is a tool of social enginering”. Ada azas yang menyatakan “Equality before the law”. Namun penggalan itu hanya lah bagi mereka sang penegak hukum, KUHP dengan prinsip “ultimum remidium”nya memaksakan kehendak penguasa tanpa memperdulikan “presumption of innoncent”. Masih banyak penindas manusia tak bersalah tanpa di tindak karena tanpa  bayangan namun sang penegak hukum berpura mata tak melihat, masih banyak orang yang tertindas dari penindas manusia tak bersalah tanpa perlindungan hukum yang pasti dari sang penegak hukum. Mengerikan penegak yang tegang akan kepentingannya, menjalankan sistim hukum penjajah ini. Orang yang tertindas dari penindas malah semakin tertindas dari keputusannya sang penegak hukum.
                Kejahatan dan pelanggaran masih sering terjadi namun jika kita perhatikan jumlah aparat kepolisan tiap tahun bertambah 1000-20.000 orang, jaksa dan hakim yang tiap tahunnya d rekrut. Tapi kenapa masih ada pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan kejahtan lainnya masih saja terjadi. Jangan katakan bahwa pekerjaan polisi, jaksa dan hakim mencari orang yang bersalah bukan menciptakan ketertiban dan keadilan. Ketikadilan juga masih tidak berpihak bagi umum, orang yang terbutiknya tak bersalah dapat di jebloskan dalam jeratan hukum karena untuk memenuhi kepentingan sepihak.
                Apalah daya, kita hanya bisa melihat semua realita ini, kita hanya bisa menangis ketika ketidak-adaanya pihak yang meperhatikan hal yang sebernarnya. Semua harpan jauh dari kehidupan kita. Raga tak mampu lagi untuk menopang kerapuhan batin ketika hukum mengintimidasi kita. Jelas kita hanyalah masyarakat yang di butakan oleh mereka yang mengerti sistim. Dan kini saatnya kita membuka mata untuk belajar dan mampu mengktitisisasi cara mereka, menginterupsi keputusan mereka  dan mendoakan mereka sang penegak hukum.
                Jika semuanya ini telah terjadi maka perhatikanlah; manusia yang mengciptakan sistim dan sistim diciptakan oleh manusia.. apa dan siapa yang salah?? Manusia? Ataukah sistim? Jika manusia yang salah, tetapi dia mampu menciptakan sistim. Dan jika sistim yang salah, tetapi manusia yang mengciptakan sistim.. Entahlahh,, begitu abstraknya yang terpikir ku.. ku rasa aku harus menyudahi tulisan singkat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar